my future
Untuk bab kali ini, izinkan aku menulis dalam bahasa Indonesia. Mengapa? Entahlah. Mungkin karena belakangan ini aku tenggelam dalam "Laut Bercerita" karya Leila S. Chudori. Tulisannya begitu tenang, rapi, dan penuh struktur—membuatku ingin mencoba merajut kata-kata seindah itu juga. Hehe.
Tentang Masa Depan dan Takdir yang Samar
Bicara soal masa depan, rasanya tak bisa dilepaskan dari kata: takdir.
Di umur dua puluh lima, akan terdengar bohong jika aku bilang aku tak cemas soal masa depan.
Beberapa minggu ke belakang, aku terlalu larut dalam kisah yang bahkan belum sempat dimulai—sebuah one-sided crush yang kini perlahan harus kulepaskan.
Aku mencoba mencari pengganti. Membuka kemungkinan baru. Melakukan hal-hal yang dulu enggan kulakukan.
Padahal aku ini tipe yang cukup “secluded”, senang bersembunyi, menyukai sunyi. Tapi mungkin, mungkin aku terlalu resah dengan siapa jodohku kelak?
Ada rasa terburu-buru yang tak kumengerti asalnya.
Apa yang kulakukan mungkin terdengar biasa saja.
Tapi bagiku—seseorang yang nyaman dengan dinding-dindingnya sendiri—itu semua cukup melelahkan.
Pertama, aku membuka gembok Instagram-ku.
Melepas batas yang selama ini kuanggap pelindung. Aku ingin tetap tak terlihat, menjadi rahasia yang hanya dikenali oleh sedikit orang. Tapi untuk ditemukan, seseorang harus tahu bahwa aku ada, bukan? Jadi kubiarkan dunia mengintip sedikit.
Kedua, aku mengunduh Bumble. Yap. Salah satu keputusan paling sulit yang akhirnya kusesali. Seperti yang sudah kuduga, aku tak mendapatkan apa pun di sana. Bahkan, aku nyaris tak mengobrol. Tapi entah kenapa, aku sempat merasa harus mencobanya.
Ketiga, aku mengirim pesan ke salah satu pria paling puitis yang kulihat di Instagram. Tampan, tenang, terlihat agamis, dan katanya belum pernah pacaran. Sempurna dalam benakku. Tapi dia juga content creator—terlalu terlihat, terlalu dikerumuni. Lalu, kuberanikan diri untuk mengirim pesan. Ia membalas—aku terkejut. Tapi hanya sebentar, dua tiga balasan, lalu hening. Aku pun melanjutkan hidup. Toh, aku pun mengirim pesan itu hanya karena iseng.Lalu, apakah aku masih resah tentang urusan cinta? Tidak. Aku pun tak tahu kenapa. Suatu pagi, aku bangun dengan perasaan yang berbeda. Tiba-tiba saja aku merasa, "Apa sih yang sebenarnya aku lakukan?" “Kenapa terlalu sibuk memikirkan cinta yang tak jelas?” “Apa untungnya untukku?”
Dan saat itu juga, aku berhenti. Tak lagi memikirkannya terlalu dalam. Walaupun sesekali bayangan beberapa crush masih melintas, aku tahu sekarang: mungkin aku tak benar-benar menyukai mereka.
Sekarang aku mencoba menyusun hidup. Jika—lagi-lagi—BUMN menolakku, aku akan serius melanjutkan studi S2. Dengan beasiswa. Aku bernazar: jika diterima di BUMN Bukit Asam, aku akan berpuasa seminggu penuh dan bersedekah satu bungkus nasi tiap harinya.
Entah, apakah Tuhan akan menerima negosiasi kecilku ini. Tapi bukankah kita semua pernah mencoba menukar harapan dengan niat baik?
Jika tak diterima, aku benar-benar akan ke Malaysia.
Langsung ke luar negeri, bukan sekadar luar kota.
Karena aku merasa, kalau aku bisa menjauh… mungkin aku bisa lebih dekat dengan diriku sendiri.
Mungkin aku akan menemukan bagian diriku yang hilang. Atau setidaknya, menemukan caraku untuk bahagia tanpa terlalu berharap pada orang lain.
Jadi… kita lihat saja.
Beberapa bulan ke depan, semesta akan membawaku ke mana?
Ke mana pun itu, semoga aku tetap menjadi diriku—dengan versi yang lebih utuh.
Komentar
Posting Komentar